Skip to content

Tingkatkan Rasa Spiritualis, FUAD Gelar Kajian Kitab Klasik Al-Hikam Rutin Setiap Bulan Bersama KH. Imron Jamil

  • by

Minggu, 14 Juli 2024, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Ponorogo menggelar acara bulanan yakni Kajian Kitab Klasik Ngaji Kitab Al-Hikam yang diampu beliau Kh. Imron Jamil dari Jombang. Ngaji seri ke 7 ini di adakan pada jam 10.00-12.30 WIB. Selain menambah ilmu, kajian ini juga menambah spirit spiritualis civitas akademika IAIN Ponorogo.

Turut hadir dalam acara ini Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah Dr. Iswahyudi, S.Ag., M.Ag. Kasubag FUAD Ahmad Zainal Abdi S.H, M. E. dan beberapa dosen, mahasiswa, bahkan Alumni IAIN Ponorogo dan Masyarakat Umum. Riza Anggara Putra selaku moderator acara membuka dengan bacaan basmallah. Ini adalah sesi lanjutan ngaji kitab kuning yang sebelumnya juga sudah di isi oleh KH. Imron Jamil tentang kitab Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah As-Sakandari.
Kh. Imron Jamil menyampaikan beberapa hikmah yang ada dalam kitab ini yakni Al-Hikmah Al-Ula. Hikmah yang pertama, ‘I’timat ‘ala ‘amal (bergantung atau bersandar pada amal) yang menyebabkan lupa kepada Allah, dalam hal ini terdapat sesuatu yang negatif.

Pertama, Yakni ketika kita melakukan sesuatu sepenuhnya kita yakin bahwa yang kita lakukan adalah buah dari upaya kita, hasil karya kita dan hasilnya akan menjadi hak kita sendiri. Salahnya orang yang demikian adalah melupakan Allah, seolah-olah ia melakukan sesuatu sendirian tanpa bantuan Allah. Coba cek diri sendiri apakah kita demikian?. Kedua, ketika kita yakin secara mutlak antara ikhtiar dengan hasilnya. Terlalu yakin bahwa ketika berikhtiar maka hasilnya mutlak sukses. Sehingga memunculkan sifat yang terlalu arogan (merasa mampu dan bisa). Ketiga, kita lupa seandainya kita sukses karena hasil ikhtiar, dan kita lupa siapa yang mendukung kita menjadi sukses. Misalnya sukses belajar, kita pasti mendapat dukungan baik itu Allah, orang tua, anak yang tidak mengganggu, kuota, pulsa, listrik, rumah, dll. Sasarannya jika dalam tasawuf adalah kita lupa akan kontribusi Allah dan over estimate akan amal sendiri.

Dari tiga sifat negatif itu maka hal baik yang perlu dilakukan versi tasawuf adalah Roja’ diartikan sebagai (optimisme) atau diartikan sebagai keyakinan bahwa Allah akan membantu kita. Selanjutnya, kita juga jangan menjadi orang putus asa itu diartikan sebagai kufur karena seolah-olah Allah tidak mampu menyelesaikan problemnya.

Sehingga roja’ itu penting. Roja’ di akhirat bisa menyelamatkan kita. Ada beberapa cerita terkait dengan pentingnya roja’ yang disampaikan Al-Ghazali dalam ilustrasinya, yakni cerita Yahya bin Aksam. Cerita lain tentang Bani Israil.
Hikmah yang kedua, kata Kh.Imron Jamil adalah hikmah Al-Tsaniyah. Keinginan untuk sampai pada maqam tajrid (suatu maqam ketika kita mampu membebaskan diri dari ikatan dunia apapun) padahal masih berada pada maqam asbab (maqam sebab akibat atau sunnatullah yang harus dipedomani, jika ingin makan ya kerja, ingin kaya ya kerja dll).

Di akhir pembicaraannya, KH. Imron Jamil menyampaikan, “Seandainya kita berada di maqam asbab tetapi ngeyel untuk berada di maqam tajrid maka itu hanya bisikan syahwat. Atau seandainya kita berada pada maqam tajrid tetapi masih sibuk dengan asbab (duniawi), maka ia menurunkan levelnya ke asbab. Maka yang perlu kita lakukan adalah bersikap profesionalitas atau sadar akan posisi, maksudnya jika ia berada pada maqam tajrid ya selayaknya berlaku tajrid, begitu juga sebaliknya”.